Jumat, 28 September 2012

IMPLIKASI PERPECAHAN DUNIA ISLAM TERHADAP EKONOMI POLITIK ISLAM


IMPLIKASI PERPECAHAN DUNIA ISLAM
TERHADAP EKONOMI POLITIK ISLAM
Oleh:
Richa Angkita M / 09/294195/PMU/6365 / Ekonomi Islam Pascasarjana UGM


I.    Pendahuluan

Telah kita ketahui bersama bahwa kekayaan itu menurut hukum Islam adalah titipan Allah SWT. Jika kita lihat sekarang ini, Negara mana yang terkaya ? hampir semua Negara-negara itu adalah Negara Islam. Antara lain Arab Saudi, Qatar, Kuwait, Emirat Arab, dan lainnya. Begitu besar kekayaan yang dimiliki oleh Negara-negara tersebut. Akan tetapi apabila kita tengok kembali, siapa Negara yang paling miskin ? maka jawabannya adalah Negara-negara Islam juga. Seperti halnya Bangladesh, Somalia, dan lainnya.
Maka dapat kita identifikasi, bahwa munculnya Negara-negara kaya yang Islam dan Negara-negara yang miskin juga Islam terjadi karena terbaliknya hukum Islam. “Dalam hukum Islam, seperti zakat, infak dan sadaqah, itu adalah penyaluran kekayaan, yang seharusnya dari negara kaya ke negara miskin. Tetapi, apa yang terjadi sekarang? Justru yang terjadi adalah penyaluran kekayaan dari negara miskin ke negara kaya,”
Dan muncul fenomena lainnya, bahwa Negara-negara Islam kaya cenderung lebih dekat dengan Negara-negara barat yang menganut faham kapitalisme. Yang mana kita ketahui bahwa kapitalis sangat bertolak belakang dengan Islam. Sebaliknya Negara-negara Islam miskin lebih dekat dengan Negara-negara sosialis yang notabene masih jauh dibawah Negara-negara kapitalis, seperti Amerika. Oleh karena itu tidak heran bahwa campur tangan asing sangat berpengaruh terhadap perpecahan dunia Islam.
Maka ketiga point penting tersebut diatas perlu kita kaji secara komprehensif, sehingga kita sebagai penerus generasi Islam, dapat memberikan kontribusi yang berarti guna menegakkan Islam sebagai agama Rahmatan lil’alamien. Dan dapat meminimalisasi pengaruh barat demi menuju Ridho Nya, dengan Islam sebagai pilar yang kokoh dan tidak tergoyahkan meski dengan kapitalisme sekalipun.


II.    Perpecahan Dunia Islam

Umat Islam dalam Hegemoni Ideologi Kapitalisme

Umat Islam, sebelum Perang Dunia I masih merasa mempunyai Negara Islam. Perasaan tersebut dimiliki oleh umat Islam, sekalipun Negara itu telah lemah dan mengalami kekacauan, ia tetap menjadi pusat arahan pemikiran dan perhatian umat. Orang-orang Arab sebagai contoh, memandang Negara ini sebagai penghancur hak-hak mereka, berkuasa totaliteris atas mereka, tetapi pada saat bersamaan mereka juga mengarahkan mata hati mereka padanya untuk memperbaikinya karena bagaimanapun Negara ini adalah Negara mereka. Keterikatan tersebut juga terjadi di Indonesia.
Namun, perasaan bernegara kesatuan Islam, pada waktu itu semakin lemah. Hal itu disebabkan terjadinya penjajahan Negara Barat dan deideologisasi Islam dengan tsaqofah asing (sekulerisme). Bahkan melalui penjajahan dan deideologisasi tersebut penjajah mampu menarik mereka ke pihak mereka sekelompok kaum muslimin, yang didorong untuk memisahkan diri dan memerdekakan negeri mereka dan Negara Islam. Penjajah juga mampu menarik sekelompok umat Islam yang ‘bertugas’ memerangi Daulah Utsmaniyah. Sebagai hasilnya adalah semakin besarnya kekuatan penjajah atas negeri-negeri Islam bahkan sampai kemudian secara tidak langsung menyebabkan jatuhnya pemerintahan Utsmani. (Maryadi, 2001;hal.37)
Maka, setelah eksistensi Negara Islam itu sirna, maka penjajah langsung menggantikan posisinya. Mereka memerintah negeri-negeri umat Islam secara langsung dan memperluas kekuasaanya ke seluruh aspek kehidupan umat Islam. Secara taktis, dapat kita lihat bahwa mereka benar-benar telah menduduki umat Islam dan mulai menancapkan kekuasaanya pada setiap bagian wilayah ini, bahkan kalau perlu dengan menghalalkan segala cara baik yang tersembunyi dan kotor, untuk mendapatkan kekuasaan.
Selain dari pada itu, demi kepentingan deideologisasi Islam, merancang system pendidikan dan kebudayaan atas dasar falsafah yang sesuai dengan pandangan hidup mereka sendiri, yaitu memisahkan agama dan kehidupan dan Negara. Bahkan, ketika system pendidikan memerlukan tolak ukur bagi ‘kurikulum’ pendidikan, mereka menjadikan peradaban, struktur Negara mereka, sejarah, dan lingkungan mereka (yang semuanya bersandar pada sekularisme) sebagai tolak ukur untuk otak kita. Dan ketika system pendidikan dan kebudayaan memerlukan tolok ukur kualitatif keberhasilan pendidikan, mereka menjadikan kepribadian mereka (yang tentunya semuanya bersandarkan pada sekulerisme) sebagai satu-satunya tolak ukur. Padahal, mereka adalah penjajah yang tidak segan-segan menjadikan pemutarbalikan fakta dalam menanamkan kepribadian mereka, mereka membalikkan gambaran penjajah sedemikian rupa agar kita anggap mulia, yang harus kita ikuti, suatu tatanan kuat dimana kita harus berjalan bersamanya, dengan menyembunyikan tampang penjajah yang sebenarnya.
Penjajah tidak sekedar menggunakan deideologisasi Islam saja, bahkan mereka merusak suasana Islami di tengah umat Islam. Penjajah mendorong umat Islam melaksanakan kegiatan yang membahayakan eksistensi umat Islam itu sendiri dan menjadikan semua itu sebagai sumbu putar aktivitas-aktivitas temporer, sebagai contoh, penjajah memberi kesempatan berdirinya organisasi umat Islam bercirikan sosialisme, sekulerisme, nasionalisme sempit, atau organisasi Islam yang bersifat kedaerahan. Akibatnya, organisasi tersebut hanyalah menjadi ‘kuda tunggangan’ untuk kepentingan individu, dan oleh karena itu, rawan pertentangan dan konflik. Akibat lebih lanjut, umat Islam diwarnai rasa keputusasaan, pesimisme, dan menyerah pada keadaan. Umat Islam merasakan beban kesulitan yang semakin berlipat ganda, yang semakin membuat umat Islam kepayahan dalam menapaki agamanya dengan benar. Begitulah salah satu bentuk adu domba yang dilakukan oleh para penjajah terhadap umat Islam pada umumnya, sehingga menyebabkan krisis kepercayaan antar umat Islam itu sendiri sehingga terpecah belah.

Pengaruh Penjajahan

Begitu kuatnya tekanan penjajah terhadap umat Islam, sehingga umat Islam memilih‘jalan damai’ dari pada jalan konfrontatif. Kebanyakan umat Islam beranggapan bahwa ‘jalan damai’ lebih baik dari ‘jalan konfrontatif’. Adapun jalan damai tersebut dengan membuat organisasi social ekonomi. Di berbagai negeri Islam muncul gerakan lokal dan regional yang mengarah pada tujuan sosial ekonomi. Organisasi-organisasi ini mendirikan sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan membantu aktivitas perbaikan sosial. Akan tetapi apabila kita perhatikan hasil-hasil organisasi ini dengan mata jeli, kita akan temukan bahwa keberadaannya bisa member efek begatif bagi umat Islam, yaitu menempatkan Islam dalam posisi subordinat dari ideology lain. Hal ini karena umat Islam secara keseluruhan dengan masih mempunyai sebagian pemikiran Islam,dengan diterapkannya sebagian hukum syara’ dan dengan terpatrinya sebagian perasaan Islam, mempunyai keinginan untuk bangkit, dalam bentuk kecenderungan alami untuk berkelompok secara Islami.
Disamping berbagai organisasi sosial Islam, berdiri pula organisasi berdasarkan akhlak yang berusaha membangkitkan umat atas dasar akhlak dengan suatu anggapan bahwa akhlak merupakan dasar kebangkitan. Sementara umat atau bangsa tidak lahir atau tegak karena akhlak, namun keberadaannya dengan pandangan hidup yang dianutnya, pemikiran yang diembannya, dan system yang diberlakukannya. Organisasi semacam ini muncul akibat dari pemahaman yang salah terhadap arti masyarakat, bahwa masyarakat terdiri dari kumpulan individu. Padahal masyarakat itu satu kesatuan yang terdiri dari manusia, pemikiran, perasaan dan system. Dan kehancuran masyarakat tidak lain adalah akibat rusaknya pemikiran, perasaan, dan system, jadi bukan dari kerusakan individu. Demikian juga untuk memperbaikinya tidak lain dengan memperbaiki pemikiran, perasaan, dan sistem itu.

III. Implikasi Perpecahan Dunia Islam Terhadap Ekonomi Politik Islam

Ketimpangan Ekonomi dan Kesejahteraan

Sejauh ini, kita ketahui, bahwa ketimpangan ekonomi dan kesejahteraan dapat diklaim sebagai pemicu kekerasan yang terjadi disejumlah Negara muslim. Maka salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan menggunakan sistem ekonomi syari’ah, seperti penerapan zakat dari Negara kaya ke Negara miskin. Seperti halnya kekerasan yang dipicu ketimpangan ekonomi kerap terjadi di sejumlah Negara Islam, seperti Irak, Pakistan dan Afghanistan. Sebagai contoh ketika pada tanggal 17 lalu di Indonesia terjadi dua ledakan bom yang menewaskan beberapa orang. Tak seperti di Indonesia, di Irak, Pakistan dan Afganistan, banyak orang Islam yang berjuang demi kepentingan ekonomi. Mereka berjuang demi kepentingan orang Islam. Perbedaan yang kontras antara Indonesia dan Negara- Negara tersebut.
Adapun contoh ketimpangan ekonomi yang terjadi di Negara-negara Muslim, Seperti saat harga minyak dunia menembus US$ 100 per barel, yang terjadi adalah 75-80 persen negara muslim seperti Pakistan dan Bangladesh harus membayar lebih banyak untuk subsidi. Sementara 20 persen negara muslim lainnya menikmati keuntungan dari tingginya harga minyak. Namun, mereka (negara-negara Timur Tengah) menikmatinya dengan bermacam-macam kekayaan untuk rumah yang dibangun seperti istana dan kota yang sangat indah. Mereka memaknai ini dengan tiga hal, yaitu membeli senjata untuk berperang di antara mereka dan juga untuk kemewahan yang juga sangat luar biasa. Pada kondisi seperti itu, jika negara-negara muslim menerapkan sistem zakat, maka negara miskin tersebut bisa terbantu oleh negara kaya. Kalau seandainya 20 persen negara Islam yang kaya menyerahkan zakat secara langsung kepada 80 persen negara muslim lainnya, ketimpangan itu bisa teratasi.
Selain dari pada itu, sebab ketimpangan ekonomi yang lainnya adalah sistem keuangan dunia yang tidak riil. Sistem tersebut sangat rentan dan rapuh berbeda dengan sistem ekonomi syariah yang berdasarkan pada transaksi riil. Maka sekali lagi ditekankan pada perbaikan system. Karena system memengang peranan penting dalam perekonomian suatu Negara. Lebih-lebih Negara-negara Muslim. Dengan dasar bahwa harta kekayaan itu adalah titipan Allah SWT, dunia Islam sekarang ini menerapkan filosofi yang terbalik daripada sebuah sistem keadilan secara Islam. Maka, keadilan itu masih sangat sulit ditegakkan. Jika berpegang teguh pada syariah, seharusnya ada transfer dana dari kegiatan ekonomi negara-negara kaya itu kepada negara-negara miskin.

Ketidakmampuan Negara Muslim dalam Mengelola SDA dan Ilmu Pengetahuan

Keruntuhan khilafah dan kemunduran umat Islam itu banyak disebabkan oleh persoalan internal umat Islam sendiri, seperti kecenderungan penguasa korup yang lebih mementingkan uang dan kekuasaan, serta perpecahan di kalangan umat Islam. Berbicara masalah ilmu pengetahuan dan teknologi, jika dibandingkan dengan masyarakat Barat, umat Islam jauh tertinggal. Umat Islam senantiasa berteman akrab dengan kebodohan, bahkan sumber daya alam yang melimpah ruah di negara-negara berpenduduk muslim mayoritas tidak bisa membuat rakyatnya makmur. Penyebabnya, ketidakmampuan mengelola sumber daya alam yang dimiliki. Jika kita membandingkan realitas umat Islam saat ini dengan realitas umat Islam di masa Khilafah Abbasiyah, terlihat perbedaan yang mencolok.
Di zaman Abbasiyah umat Islam mampu menjadi sumber ilmu pengetahuan yang dipegang Barat saat ini. Sedangkan umat Islam saat ini hanya menjadi konsumen dari ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan masyarakat Barat. Melihat keterpurukan umat saat ini dan kemajuan umat Islam masa lampau muncul ide membangun kembali keruntuhan peradaban Islam yang dikemas dalam bentuk jihad membangun peradaban.
Tradisi pengembangan ilmu pengetahuan di Barat dilakukan dalam rentang waktu yang cukup lama. Kalau dihitung dari sekarang, sekitar 300 atau 400 tahun yang lalu Barat mengembangkan teknologi secara tekun. Dari sini kita pahami bahwa kemajuan Barat yang merupakan proses panjang dari ketekunan dan keuletan masyarakat Barat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kalau dibandingkan dengan masyarakat atau bangsa-bangsa Islam, kita melihat bahwa tradisi pengembangan ilmu pengetahuan sebenarnya telah ada saat Islam baru tumbuh. Sayangnya tradisi pengembangan ilmu pengetahuan ini terputus di tengah-tengah dan barangkali sekarang baru beranjak untuk bangkit kembali.
Kebodohan atau ketertinggalan umat Islam dalam ilmu pengetahuan sangat berpengaruh terhadap kemampuan umat Islam sendiri mengembangkan ekonominya. Bisa kita lihat dalam perkembangan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat Islam. Indonesia pertumbuhan ekonominya sangat jauh sekali dari kemakmuran karena ketidakmampuan ilmu pengetahuan. Sedangkan masyarakat yang menguasai ilmu pengetahuan rata-rata lebih makmur daripada mereka yang tidak menguasai ilmu pengetahuan. Semua ini terkait dengan kemampuan untuk melakukan terobosan, inovasi dalam pengembangan ekonomi sekaligus persaingan ekonomi.
Kalau kita kembali ke masyarakat Islam, saya kira negara-negara Islam sebenarnya kaya. Negara-negara Islam di Timur Tengah kaya akan sumberdaya alam, begitu juga dengan Indonesia. Sebenarnya, kita kaya atau tidak sumberdaya alam, kita harus mengembangkan ilmu pengetahuan, apalagi kaya sumberdaya alam. Seharusnya kita mengembangkan ilmu pengetahuan. Buktinya, meskipun kita kaya sumberdaya alam, tapi toh kita tidak bisa mengolahnya. Semua itu menunjukkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat penting.
Dari uraian diatas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa perpecahan dunia Islam menyebabkan ekonomi Negara Muslim tidak terangkat, padahal Negara muslim mempunyai potensi Sumber Daya Alam yang luar biasa. Begitu juga dengan ilmu pengetahuannya. Hal itu dikarenakan Negara muslim belum bisa mengelola baik SDA maupun Ilmu Pengetahuan dengan baik.

IV. Kesimpulan

Pada dasarnya perpecahan dunia Islam disebabkan oleh belum meratanya pembagian Zakat, Infaq maupun Shodaqoh. Yang mana ketiga hal tersebut merupakan bentuk penyaluran harta kekayaan baik yang dimiliki oleh individu maupun Negara yang mana telah diperintahkan oleh Islam agar tidak menumpuk harta kekayaan. Karena harta kekayaan semata-mata adalah titipan Allah SWT. Sehingga belum ratanya pembagian ZIS tersebut membuat kesenjangan social antara Negara Islam Kaya dan Negara Islam Miskin. Negara Islam kaya akan semakin kaya dengan kelebihan dana yang tidak disalurkan kepada Negara miskin, sedangkan Negara Islam miskin akan tetap menderita dan tidak bisa untuk meningkatkan taraf ekomominya. Atau bahkan faktanya Negara Islam miskin lah yang banyak menyalurkan dananya kepada Negara Islam kaya.
Maka dapat diketahui bahwa implikasi perpecahan dunia Islam tersebut adalah Negara-negara Islam mudah teradu domba sehingga mereka tidak mempunyai pendirian yang kuat dan menyebabkan ekonomi mereka tidak terangkat, sering terjadi ketimpangan ekonomi dan kesejahteraan padahal Negara-negara Islam memiliki potensi Sumber Daya Alam yang luar biasa.
Untuk itu, kita perlu mengkaji lebih lanjut tentang perekonomian Negara Islam pada zaman Rosulullah hingga masa-masa dinasti setelahnya guna mendapatkan contoh perekonomian yang paling ideal,sehingga kita bisa menjadikannya sebagai rujukan agar perekonomian dunia Islam dapat berkembang dengan baik tanpa campur tangan Negara-negara kapitalis. Karena pada dasarnya kekayaan alam yang berpotensi tendapat di Negara-negara Islam, tinggal bagaimana Negara Islam termasuk kita semua dapat menjaganya dan melestarikannya dengan baik. Tidak ada kata terlambat untuk melakukan sebuah perubahan, baik paradigma maupun suatu tidakan riil demi mencapai kesejahteraan dan perbaikan dalam mengemban amanah Allah SWT sebagai khalifah di bumi ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar