IMPLIKASI PERPECAHAN DUNIA
ISLAM
TERHADAP EKONOMI POLITIK
ISLAM
Oleh:
Richa
Angkita M / 09/294195/PMU/6365 / Ekonomi Islam Pascasarjana UGM
I.
Pendahuluan
Telah kita ketahui
bersama bahwa kekayaan itu menurut hukum Islam adalah titipan Allah SWT. Jika kita
lihat sekarang ini, Negara mana yang terkaya ? hampir semua Negara-negara itu
adalah Negara Islam. Antara lain Arab Saudi, Qatar, Kuwait, Emirat Arab, dan
lainnya. Begitu besar kekayaan yang dimiliki oleh Negara-negara tersebut. Akan
tetapi apabila kita tengok kembali, siapa Negara yang paling miskin ? maka
jawabannya adalah Negara-negara Islam juga. Seperti halnya Bangladesh, Somalia,
dan lainnya.
Maka dapat kita
identifikasi, bahwa munculnya Negara-negara kaya yang Islam dan Negara-negara
yang miskin juga Islam terjadi karena terbaliknya hukum Islam. “Dalam hukum Islam, seperti zakat, infak dan
sadaqah, itu adalah penyaluran kekayaan, yang seharusnya dari negara kaya ke
negara miskin. Tetapi, apa yang terjadi sekarang? Justru yang terjadi adalah
penyaluran kekayaan dari negara miskin ke negara kaya,”
Dan muncul
fenomena lainnya, bahwa Negara-negara Islam kaya cenderung lebih dekat dengan
Negara-negara barat yang menganut faham kapitalisme. Yang mana kita ketahui
bahwa kapitalis sangat bertolak belakang dengan Islam. Sebaliknya Negara-negara
Islam miskin lebih dekat dengan Negara-negara sosialis yang notabene masih jauh
dibawah Negara-negara kapitalis, seperti Amerika. Oleh karena itu tidak heran
bahwa campur tangan asing sangat berpengaruh terhadap perpecahan dunia Islam.
Maka ketiga point
penting tersebut diatas perlu kita kaji secara komprehensif, sehingga kita
sebagai penerus generasi Islam, dapat memberikan kontribusi yang berarti guna
menegakkan Islam sebagai agama Rahmatan lil’alamien. Dan dapat meminimalisasi
pengaruh barat demi menuju Ridho Nya, dengan Islam sebagai pilar yang kokoh dan
tidak tergoyahkan meski dengan kapitalisme sekalipun.
II.
Perpecahan
Dunia Islam
Umat Islam dalam Hegemoni
Ideologi Kapitalisme
Umat Islam, sebelum Perang Dunia I masih merasa
mempunyai Negara Islam. Perasaan tersebut dimiliki oleh umat Islam, sekalipun
Negara itu telah lemah dan mengalami kekacauan, ia tetap menjadi pusat arahan
pemikiran dan perhatian umat. Orang-orang Arab sebagai contoh, memandang Negara
ini sebagai penghancur hak-hak mereka, berkuasa totaliteris atas mereka, tetapi
pada saat bersamaan mereka juga mengarahkan mata hati mereka padanya untuk
memperbaikinya karena bagaimanapun Negara ini adalah Negara mereka. Keterikatan
tersebut juga terjadi di Indonesia.
Namun, perasaan bernegara kesatuan Islam, pada waktu
itu semakin lemah. Hal itu disebabkan terjadinya penjajahan Negara Barat dan
deideologisasi Islam dengan tsaqofah
asing (sekulerisme). Bahkan melalui penjajahan dan deideologisasi tersebut
penjajah mampu menarik mereka ke pihak mereka sekelompok kaum muslimin, yang
didorong untuk memisahkan diri dan memerdekakan negeri mereka dan Negara Islam.
Penjajah juga mampu menarik sekelompok umat Islam yang ‘bertugas’ memerangi
Daulah Utsmaniyah. Sebagai hasilnya adalah semakin besarnya kekuatan penjajah
atas negeri-negeri Islam bahkan sampai kemudian secara tidak langsung
menyebabkan jatuhnya pemerintahan Utsmani. (Maryadi, 2001;hal.37)
Maka, setelah eksistensi Negara Islam itu sirna, maka
penjajah langsung menggantikan posisinya. Mereka memerintah negeri-negeri umat
Islam secara langsung dan memperluas kekuasaanya ke seluruh aspek kehidupan
umat Islam. Secara taktis, dapat kita lihat bahwa mereka benar-benar telah
menduduki umat Islam dan mulai menancapkan kekuasaanya pada setiap bagian
wilayah ini, bahkan kalau perlu dengan menghalalkan segala cara baik yang
tersembunyi dan kotor, untuk mendapatkan kekuasaan.
Selain dari pada itu, demi kepentingan deideologisasi
Islam, merancang system pendidikan dan kebudayaan atas dasar falsafah yang
sesuai dengan pandangan hidup mereka sendiri, yaitu memisahkan agama dan
kehidupan dan Negara. Bahkan, ketika system pendidikan memerlukan tolak ukur
bagi ‘kurikulum’ pendidikan, mereka menjadikan peradaban, struktur Negara
mereka, sejarah, dan lingkungan mereka (yang semuanya bersandar pada
sekularisme) sebagai tolak ukur untuk otak kita. Dan ketika system pendidikan
dan kebudayaan memerlukan tolok ukur kualitatif keberhasilan pendidikan, mereka
menjadikan kepribadian mereka (yang tentunya semuanya bersandarkan pada
sekulerisme) sebagai satu-satunya tolak ukur. Padahal, mereka adalah penjajah
yang tidak segan-segan menjadikan pemutarbalikan fakta dalam menanamkan
kepribadian mereka, mereka membalikkan gambaran penjajah sedemikian rupa agar
kita anggap mulia, yang harus kita ikuti, suatu tatanan kuat dimana kita harus
berjalan bersamanya, dengan menyembunyikan tampang penjajah yang sebenarnya.
Penjajah tidak sekedar menggunakan deideologisasi
Islam saja, bahkan mereka merusak suasana Islami di tengah umat Islam. Penjajah
mendorong umat Islam melaksanakan kegiatan yang membahayakan eksistensi umat
Islam itu sendiri dan menjadikan semua itu sebagai sumbu putar
aktivitas-aktivitas temporer, sebagai contoh, penjajah memberi kesempatan
berdirinya organisasi umat Islam bercirikan sosialisme, sekulerisme,
nasionalisme sempit, atau organisasi Islam yang bersifat kedaerahan. Akibatnya,
organisasi tersebut hanyalah menjadi ‘kuda tunggangan’ untuk kepentingan
individu, dan oleh karena itu, rawan pertentangan dan konflik. Akibat lebih
lanjut, umat Islam diwarnai rasa keputusasaan, pesimisme, dan menyerah pada
keadaan. Umat Islam merasakan beban kesulitan yang semakin berlipat ganda, yang
semakin membuat umat Islam kepayahan dalam menapaki agamanya dengan benar.
Begitulah salah satu bentuk adu domba yang dilakukan oleh para penjajah
terhadap umat Islam pada umumnya, sehingga menyebabkan krisis kepercayaan antar
umat Islam itu sendiri sehingga terpecah belah.
Pengaruh Penjajahan
Begitu kuatnya
tekanan penjajah terhadap umat Islam, sehingga umat Islam memilih‘jalan damai’
dari pada jalan konfrontatif. Kebanyakan umat Islam beranggapan bahwa ‘jalan
damai’ lebih baik dari ‘jalan konfrontatif’. Adapun jalan damai tersebut dengan
membuat organisasi social ekonomi. Di berbagai negeri Islam muncul gerakan
lokal dan regional yang mengarah pada tujuan sosial ekonomi.
Organisasi-organisasi ini mendirikan sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan
membantu aktivitas perbaikan sosial. Akan tetapi apabila kita perhatikan
hasil-hasil organisasi ini dengan mata jeli, kita akan temukan bahwa
keberadaannya bisa member efek begatif bagi umat Islam, yaitu menempatkan Islam
dalam posisi subordinat dari ideology lain. Hal ini karena umat Islam secara
keseluruhan dengan masih mempunyai sebagian pemikiran Islam,dengan
diterapkannya sebagian hukum syara’ dan dengan terpatrinya sebagian perasaan
Islam, mempunyai keinginan untuk bangkit, dalam bentuk kecenderungan alami
untuk berkelompok secara Islami.
Disamping berbagai
organisasi sosial Islam, berdiri pula organisasi berdasarkan akhlak yang
berusaha membangkitkan umat atas dasar akhlak dengan suatu anggapan bahwa
akhlak merupakan dasar kebangkitan. Sementara umat atau bangsa tidak lahir atau
tegak karena akhlak, namun keberadaannya dengan pandangan hidup yang dianutnya,
pemikiran yang diembannya, dan system yang diberlakukannya. Organisasi semacam
ini muncul akibat dari pemahaman yang salah terhadap arti masyarakat, bahwa
masyarakat terdiri dari kumpulan individu. Padahal masyarakat itu satu kesatuan
yang terdiri dari manusia, pemikiran, perasaan dan system. Dan kehancuran
masyarakat tidak lain adalah akibat rusaknya pemikiran, perasaan, dan system,
jadi bukan dari kerusakan individu. Demikian juga untuk memperbaikinya tidak
lain dengan memperbaiki pemikiran, perasaan, dan sistem itu.
III. Implikasi Perpecahan Dunia Islam Terhadap
Ekonomi Politik Islam
Ketimpangan Ekonomi dan
Kesejahteraan
Sejauh ini, kita
ketahui, bahwa ketimpangan ekonomi dan kesejahteraan dapat diklaim sebagai
pemicu kekerasan yang terjadi disejumlah Negara muslim. Maka salah satu cara
untuk mengatasinya adalah dengan menggunakan sistem ekonomi syari’ah, seperti
penerapan zakat dari Negara kaya ke Negara miskin. Seperti halnya kekerasan
yang dipicu ketimpangan ekonomi kerap terjadi di sejumlah Negara Islam, seperti
Irak, Pakistan dan Afghanistan. Sebagai contoh ketika
pada tanggal 17 lalu di Indonesia terjadi dua ledakan bom yang menewaskan
beberapa orang. Tak seperti di Indonesia, di Irak, Pakistan dan Afganistan,
banyak orang Islam yang berjuang demi kepentingan ekonomi. Mereka berjuang demi
kepentingan orang Islam. Perbedaan yang kontras antara Indonesia dan Negara-
Negara tersebut.
Adapun
contoh ketimpangan ekonomi yang terjadi di Negara-negara Muslim, Seperti saat
harga minyak dunia menembus US$ 100 per barel, yang terjadi adalah 75-80 persen
negara muslim seperti Pakistan dan Bangladesh harus membayar lebih banyak untuk
subsidi. Sementara 20 persen negara muslim lainnya menikmati keuntungan dari
tingginya harga minyak. Namun, mereka (negara-negara
Timur Tengah) menikmatinya dengan bermacam-macam kekayaan untuk rumah yang
dibangun seperti istana dan kota yang sangat indah. Mereka memaknai ini dengan
tiga hal, yaitu membeli senjata untuk berperang di antara mereka dan juga untuk
kemewahan yang juga sangat luar biasa. Pada kondisi seperti itu, jika negara-negara muslim
menerapkan sistem zakat, maka negara miskin tersebut bisa terbantu oleh negara
kaya. Kalau seandainya 20 persen negara Islam yang kaya menyerahkan zakat
secara langsung kepada 80 persen negara muslim lainnya, ketimpangan itu bisa
teratasi.
Selain dari pada itu, sebab
ketimpangan ekonomi yang lainnya adalah sistem keuangan dunia yang tidak riil.
Sistem tersebut sangat rentan dan rapuh berbeda dengan sistem ekonomi syariah
yang berdasarkan pada transaksi riil. Maka sekali lagi ditekankan pada
perbaikan system. Karena system memengang peranan penting dalam perekonomian suatu
Negara. Lebih-lebih Negara-negara Muslim. Dengan dasar
bahwa harta kekayaan itu adalah titipan Allah SWT, dunia Islam sekarang ini
menerapkan filosofi yang terbalik daripada sebuah sistem keadilan secara Islam.
Maka, keadilan itu masih sangat sulit ditegakkan. Jika berpegang teguh pada
syariah, seharusnya ada transfer dana dari kegiatan ekonomi negara-negara kaya
itu kepada negara-negara miskin.
Ketidakmampuan Negara Muslim dalam Mengelola SDA dan Ilmu
Pengetahuan
Keruntuhan khilafah dan kemunduran umat Islam itu banyak disebabkan
oleh persoalan internal umat Islam sendiri, seperti kecenderungan penguasa
korup yang lebih mementingkan uang dan kekuasaan, serta perpecahan di kalangan
umat Islam. Berbicara masalah ilmu pengetahuan dan teknologi, jika dibandingkan
dengan masyarakat Barat, umat Islam jauh tertinggal. Umat Islam senantiasa
berteman akrab dengan kebodohan, bahkan sumber daya alam yang melimpah ruah di
negara-negara berpenduduk muslim mayoritas tidak bisa membuat rakyatnya makmur.
Penyebabnya, ketidakmampuan mengelola sumber daya alam yang dimiliki. Jika kita
membandingkan realitas umat Islam saat ini dengan realitas umat Islam di masa
Khilafah Abbasiyah, terlihat perbedaan yang mencolok.
Di zaman Abbasiyah umat Islam mampu menjadi sumber ilmu pengetahuan
yang dipegang Barat saat ini. Sedangkan umat Islam saat ini hanya menjadi
konsumen dari ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan masyarakat
Barat. Melihat keterpurukan umat saat ini dan kemajuan umat Islam masa lampau
muncul ide membangun kembali keruntuhan peradaban Islam yang dikemas dalam
bentuk jihad membangun peradaban.
Tradisi pengembangan ilmu pengetahuan di Barat dilakukan dalam rentang
waktu yang cukup lama. Kalau dihitung dari sekarang, sekitar 300 atau 400 tahun
yang lalu Barat mengembangkan teknologi secara tekun. Dari sini kita pahami
bahwa kemajuan Barat yang merupakan proses panjang dari ketekunan dan keuletan
masyarakat Barat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kalau
dibandingkan dengan masyarakat atau bangsa-bangsa Islam, kita melihat bahwa
tradisi pengembangan ilmu pengetahuan sebenarnya telah ada saat Islam baru
tumbuh. Sayangnya tradisi pengembangan ilmu pengetahuan ini terputus di
tengah-tengah dan barangkali sekarang baru beranjak untuk bangkit kembali.
Kebodohan atau
ketertinggalan umat Islam dalam ilmu pengetahuan sangat berpengaruh terhadap
kemampuan umat Islam sendiri mengembangkan ekonominya. Bisa kita lihat dalam
perkembangan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat Islam. Indonesia pertumbuhan
ekonominya sangat jauh sekali dari kemakmuran karena ketidakmampuan ilmu
pengetahuan. Sedangkan masyarakat yang menguasai ilmu pengetahuan rata-rata
lebih makmur daripada mereka yang tidak menguasai ilmu pengetahuan. Semua ini
terkait dengan kemampuan untuk melakukan terobosan, inovasi dalam pengembangan
ekonomi sekaligus persaingan ekonomi.
Kalau kita kembali
ke masyarakat Islam, saya kira negara-negara Islam sebenarnya kaya.
Negara-negara Islam di Timur Tengah kaya akan sumberdaya alam, begitu juga
dengan Indonesia. Sebenarnya, kita kaya atau tidak sumberdaya alam, kita harus
mengembangkan ilmu pengetahuan, apalagi kaya sumberdaya alam. Seharusnya kita
mengembangkan ilmu pengetahuan. Buktinya, meskipun kita kaya sumberdaya alam,
tapi toh kita tidak bisa mengolahnya. Semua itu menunjukkan bahwa kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi sangat penting.
Dari uraian
diatas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa perpecahan dunia Islam menyebabkan
ekonomi Negara Muslim tidak terangkat, padahal Negara muslim mempunyai potensi
Sumber Daya Alam yang luar biasa. Begitu juga dengan ilmu pengetahuannya. Hal
itu dikarenakan Negara muslim belum bisa mengelola baik SDA maupun Ilmu
Pengetahuan dengan baik.
IV. Kesimpulan
Pada dasarnya
perpecahan dunia Islam disebabkan oleh belum meratanya pembagian Zakat, Infaq
maupun Shodaqoh. Yang mana ketiga hal tersebut merupakan bentuk penyaluran
harta kekayaan baik yang dimiliki oleh individu maupun Negara yang mana telah
diperintahkan oleh Islam agar tidak menumpuk harta kekayaan. Karena harta
kekayaan semata-mata adalah titipan Allah SWT. Sehingga belum ratanya pembagian
ZIS tersebut membuat kesenjangan social antara Negara Islam Kaya dan Negara Islam
Miskin. Negara Islam kaya akan semakin kaya dengan kelebihan dana yang tidak
disalurkan kepada Negara miskin, sedangkan Negara Islam miskin akan tetap
menderita dan tidak bisa untuk meningkatkan taraf ekomominya. Atau bahkan
faktanya Negara Islam miskin lah yang banyak menyalurkan dananya kepada Negara
Islam kaya.
Maka dapat
diketahui bahwa implikasi perpecahan dunia Islam tersebut adalah Negara-negara
Islam mudah teradu domba sehingga mereka tidak mempunyai pendirian yang kuat
dan menyebabkan ekonomi mereka tidak terangkat, sering terjadi ketimpangan
ekonomi dan kesejahteraan padahal Negara-negara Islam memiliki potensi Sumber Daya
Alam yang luar biasa.
Untuk itu, kita perlu
mengkaji lebih lanjut tentang perekonomian Negara Islam pada zaman Rosulullah
hingga masa-masa dinasti setelahnya guna mendapatkan contoh perekonomian yang
paling ideal,sehingga kita bisa menjadikannya sebagai rujukan agar perekonomian
dunia Islam dapat berkembang dengan baik tanpa campur tangan Negara-negara
kapitalis. Karena pada dasarnya kekayaan alam yang berpotensi tendapat di
Negara-negara Islam, tinggal bagaimana Negara Islam termasuk kita semua dapat
menjaganya dan melestarikannya dengan baik. Tidak ada kata terlambat untuk
melakukan sebuah perubahan, baik paradigma maupun suatu tidakan riil demi
mencapai kesejahteraan dan perbaikan dalam mengemban amanah Allah SWT sebagai
khalifah di bumi ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar